Rabu, 28 November 2012

PARADIGMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA


Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan dan budayanya. Sementara, dalam perspektif vertikal, kemajemukaan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial budaya.

Kemajemukan adalah ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Pada satu sisi, kemajemukan masyarakat memberikan side effect (dampak) secara positif. Namun, pada sisi lain, ia juga menimbulkan dampak negatif, karena faktor kemajemukan itulah terkadang sering menimbulkan konflik antarkelompok masyarakat. Pada akhirnya, konflik-konflik antar kelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial.

Oleh karena itu, diperlukan suatu paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama.

Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
a)      Tujuannya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya.
b)      Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
c)      Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis.
d)     Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Menurut M. Khoirul Muqtafa (2004), paradigma multikultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat multikultur seperti di Indonesia tampaknya menjadi wacana belaka. Gagasan ini belum mampu dilaksanakan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah dalam tindakan praksis.

Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar masyarakat melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan menuntut agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.


sumber: Mahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

0 komentar:

Posting Komentar