Senin, 31 Desember 2012

SOSIOLOGI KELUARGA

Sosiologi keluarga adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar individu di dalam keluarga, hubungan keluarga dengan keluarga dengan keluarga lainnya, serta segala aspek-aspek yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut.

Ciri-ciri keluarga:

  • keluarga, merupakan susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan darah atau adopsi
  • anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakn susunan satu rumah tangga
  • berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi anggota keluarga
  • pemeliharaan kebudayaan bersama

Sejarah kehidupan keluarga individu:
  • tingkat perkembangan sebelum masa perkawinan
  • tingkat perkawinan
  • tingkat pemeliharaan anak-anak
  • tingkat kedewasaan
Teori tentang keluarga:
  1. teori fungsionalisme, yaitu menekankan pentingnya keluarga dalam menjaga atau memelihara stabilitas masyarakat dan kesejahteraan individu. keluarga memiliki berbagai macam fungsi yang tidak dipunyai dan tidak dapat dipenuhi oleh institusi sosila yang lain. terdapat pembagian kerja antara suami dan istri.
  2. teori konflik, merupakan kritik terhadap perspektif fungsionalisme, "keluarga merupakan sumber ketidakadilan sosial dan konflik atas nilai, tujuan dan akses terhadap sumber dan kekuasaan". keluarga berada dalam ekonomi kapitalis yang dapat disamakan dengan pekerja dalam sebuah pabrik. konflik kelas dalam keluarga menyebabkan masalah perceraian dan ketidakharmonisan.
  3. teori feminimisme, ketidakadilan dalam keluarga berfokus pada patriarki daripada kelas. dominasi pria terhadap wanita sudah berlangsung lama, jauh sebelum munculnya kapitalisme dan pemilikan odal pribadi. pria memiliki keuntungan berupa hak-hak istimewa yang diperoleh dari statusnya sebagai pencari nafkah.
  4. teori interaksionisme simbolik, pemahamn terhadap peran yang kita mainkan sebagai anggota keluarga dan bagaimana kita memodifikasi atau mengadoptasi peran yang kita miliki agar sesuai dengan harapan orang lain.
  5. teori postmodernisme, family as permeable, memiliki kemampuan untuk melakukan difusi memodifikasi atau merubah aturan yang merupakan entitas (kesatuan) yang memiliki tujuan-tujuan pokok. urbanity merupakan karakteristik keluarga postmodern.

Rabu, 12 Desember 2012

TOERI FERDINAND TONNIES


a.         Gemeinschaft (paguyuban)
Merupakan bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat dalam hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah dan bersifat kekal. Dasar hubungan adalah rasa cinta dan persatuan batin yang juga bersifat nyata dan organis sebagaimana dapat diumpamakan peralatan hidup tubuh manusia atau hewan. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi gemeinschaft adalah bentuk hidup bersama yang lebih bersesuaian dengan triebwille. Kebersamaan dan kerjasama tidak dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan di luar, melainkan dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Orangnya merasa dekat satu sama lain dan memperoleh kepuasan karenanya. Suasanalah yang dianggap penting daripada tujuan. Spontanitas diutamakan diatas undang-undang atau keteraturan. Tonnies menyebut sebagai contoh  keluarga, lingkungan tetangga, sahabat-sahabat, serikat pertukangan dalam abad pertengahan, gereja, desa, dan lain sebagainya. Para anggota diperstukan dan disemangati dalam perilaku sosial mereka oleh ikatan persaudaraan, simpati dan perasaan lainnya sehingga mereka terlibat secara psikis dalam suka duka hidup bersama. Dengan kata lain bahwa mereka sehati dan sejiwa.
Menurut Ferdinand Tonnies prototipe semua persekutuan hidup yang dinamakan gemeinschaft itu keluarga. Ketiga soko guru yang menyokong gemeinschaft adalah:


·         Gemeinschaft by blood
Yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Contoh: kekerabatan, masyarakat-masyarakat suatu daerah yang terdapat di daerah lain. Seperti ikatan mahasiswa Jambi di Yogyakarta.
·         Gemeinschaft of place
Yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapat saling tolong menolong. Contoh: RT dan RW.
·         Gemeinschaft of mind
Yaitu gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideologi atau pikiran yang sama.

b.        Gesellschaft (patembayan)
Merupakan bentuk kehidupan bersama yang merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok dan biasanya untuk jangka waktu yang pendek. Gesellschaft bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka, serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan pada sebuah mesin. Sedangkan menerut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi gesellschaft merupakan tipe asosiasi  dimana relasi-relasi kebersamaan dan kebersatuan antara orang berasal dari faktor-faktor lahiriah seperti persetujuan, peraturan, undang-undang dan sebagainya. Menurut Tonnies teori gesellschaft berhubungan dengan penjumlahan atau kumpulan orang yang dibentuk atau secara buatan. Apabila dilihat secara sepintas kumpulan itu mirip dengan gemeinschaft yaitu sejauh para individual hidup bersama dan tinggal bersama secara damai tetapi dalam gemeinschaft mereka pada dasarnya terus bersatu sekalipun ada faktor-faktor yang memisahkan, sedang dalam gesellschaft pada dasarnya mereka tetap terpisah satu dari yang lain, sekalipun ada faktor-faktor yang mempersatukan. 
Tonnies memakai istilah “hidup yang organis dan nyata (real)” untuk relasi-relasi yang berlaku didalam gemeinschaft dan istilah “ struktur yang khayal dan mekanis” untuk relasi-relasi yang berlaku di dalam gesellschaft. Namun Tonnies tidak pernah mengatakan bahwa tipe masyarakat gemeinschaft adalah (sama dengan ) organisme, dan tipe masyarakat gesellschaft adalah (sama dengan mekanisme). Sebaliknya ia menolak banyak ralisme maupun nominalisme, yang kedua-duanya sejak aristoteles selalu di bandingkan oleh filsuf-filsuf dan telah menghasilakan dua gambaran masyarkat yang ekstrem. Ia hanya bertujuan untuk melukiskan atas cara abstrak dan dengan memakai konsep-konsep dua bentuk atau tipe kehidupan bersama yang berbeda-beda dan merupakan dua kemungkinan abstrak.
Sebagaimana telah dikatakan oleh Cooley, bahwa konsep-konsep egoisme dan altruisme, pilihan bebas dan kewajiban sosial, hanya saling menolak dibidang konseptual saja, sedang dalam kenyataannya mereka tetap terjalin menjadi satu hidup, demikian juga halnya dengan konsep-konsep gemeinschaft dan gesellschaft.  Dalam kenyataan praktis mereka tidak saling menolak, sebab tidak mungkin ada gemeinschaft tanpa ciri-ciri gesellschaft dan tidak ada gesellschaft tanpa ciri-ciri gemeinschaft. Misalnya, keluarga tradisional dan masyarakat desa, yang merupakan contoh-contoh gemeinschaft tidak akan dapat bertahan terus, seandainya tidak ada peraturan, undang-undang, sistem kepemimpinan dan sistem peradilan. Sekalipun orangnya didorong oleh idealisme dan kemauan baik dan menggabungkan diri kedalam suatu gemeinschaft, mereka tetap membutuhkan beberapa  kepastian yang menyangkut rejeki dan kebutuhan lain.di pihak lain, walaupun suatu perusahaan atau administrasi negara diatur dan diselenggarkan secara birokratis dan rasional menurut gambaran gesellschaft, unsur-unsur manusia yang nonrasional akan tetap ikut memainkan peran dan  mempengaruhi interaksi orang yang bersangkutan. Seandainya tidak, mereka menjadi kumpulan robot-robot yang tidak berjiwa. Sama sebagaimana zweekwille dan triebwille selalu terjalin.
Tonnies  menegaskan, bahwa setiap relasi selalu mengungkapkan ketunggalan dalam  kebhinekaan, dan kebhinekan dalam ketunggalannya. Hanya kalau kita membuat suatu deskripsi yang umum dan abstrak, kita mempertentangkan unsur yang satu terhadap unsur yang lainnya. Misalnya, kita berkata bahwa seorang seniman mengharapkan penghargaan, sedang seorang pedagang mengharapkan keuntungan. Ini suatu pertentangan abstrak dan generalisasi. Sebab dalam kenyataan hidup kedua hal tampak dalam keadaan tercampur. Seniman juga harus mencari uang dan si pedagang sebagai manusia juga menginginkan penghargaan.  Begitu pula dengan kedua tipe masyarakat, mereka selalu berbentuk campuran. Pola interaksi yang berlaku dalam gemeinschaft dan pola yang berlaku dalam gesellschaft tidak salig menolak atau bertentangan satu sama lain. Tiap-tiap relasi mengandung dua aspek, selalu ada dua hal yang kait mengkait dan tidak mungkin dipisahkan. Namun demikian, dalam tipe gemeinschaft unsur hukum, peraturan, dan disiplin kurang diperhatikan dan sama menonjol seperti dalam gesellschaft, sedang unsur perasaan dan solidaritas, yang berasal dari penghargaan (triebwille) tidak begitu menonjol dalam gesellschaft.
Paradigma atau alasan Ferdinand Tonnies mengeluarkan teori tersebut adalah:
·           paradigma fakta social
·           paradigma fenomena social
·           paradigma tingkah laku atau perilaku social

Tonnies adalah contoh langka penganut evolusionisme yang tak menganggap evolusi identik dengan kemajuan. Menurutnya, evolusi terjadi secara berlawanan dengan kebutuhan manusia, lebih menuju kearah memperburuk ketimbang meningkatkan kondisi kehidupan manusia. Tentang hal ini pula secara tidak langsung bagi Tonies faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan masyarakat dimana prinsip evolusi yang ia miliki hampir sama dan senada dengan prinsip evolusi ahli lain seperti Max Weber begitu juga dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Diantara penyebab terjadi perubahan itu adalah adanya kecenderungan berfikir secara rasional, perubahan orientasi hidup, proses pandangan terhadap suatu aturan dan sistem organisasi.
Pada masyarakat modern gemeinschaft akan lenyap.  Gemeinschaft (komunitas) ditandai oleh ikatan sosial bersifat pribadi, akrab, dan tatap muka (primer). Ciri-ciri ikatan sosial ini seperti yang dikemukakan sebelumnya ialah berubah menjadi impersonal, termediasi, dan sekunder dalam masyarakat modern (Gesellschaft). Evolusi terjadi secara berlawanan dengan kebutuhan manusia, lebih menuju kearah memperburuk ketimbang meningkatkan kondisi kehidupan manusia. Baginya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan masyarakat seperti prinsip evolusi yang ia miliki adalah adanya kecenderungan berpikir secara rasional, perubahan orientasi hidup, proses pandanagan terhadap suatu aturan dan soistem organisasi. Kedua tipe masyarakat tersebut berbentuk campuran(saling berkaitan dan tidak dapat di pisahkan dalam hidup karena tidak mungkin ada gemeinschaft tanpa ciri-ciri Gesselschaft dan sebaliknya.
Keunikan pendekatan Tonnies terlihat dari sikap kritisnya terhadap masyarakat modern (Gesellschaft), terutama nostalgianya mengenai kehidupan tipe komunitas/kelompok/asosiasi (Gemeinschaft) yang lenyap. Tonnies adalah contoh langka penganut evolusionisme yang tak menganggap evolusi identik dengan kemajuan. Menurutnya, evolusi terjadi secara berlawanan dengan kebutuhan manusia, lebih menuju kearah memperburuk ketimbang meningkatkan kondisi kehidupan manusia. Dan dibawah ini adalah pemaparan Tonnies tentang perbedaan antar Gemeinschaft dengan Gesellschaft sebagai suatu perubahan yang justru bergerak kearah memperburuk, menurut dirinya.

Ciri
Gemeinschaft(komunitas)
Gesellschaft (masyarakat modern)
Hubungan social
Ikatan Keluarga
Pertukaran ekonomi
Institusi khas
Keluarga
Negara dan ekonomi
Citra tentang individu
Kedirian
Orang, warga
Bentuk kekayaan
Tanah
Uang
Tipe hukum
Hukum keluarga
Hukum kontrak
Institusi social
Desa
Kota
Kontrol social
Adat dan agama
Hukum dan pendapat umum


Ciri dari Gemeinschaft yaitu berbentuk komunitas sedangkan ciri dari Gesellschaft yaitu masyarakat modern. Tentang hal ini pula secara tidak langsung bagi Tonies faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan masyarakat dimana prinsip evolusi yang ia miliki hampir sama dan senada dengan prinsip evolusi ahli lain seperti Max Weber begitu juga dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Diantara penyebab terjadi perubahan itu adalah adanya kecenderungan berfikir secara rasional, perubahan orientasi hidup, proses pandangan terhadap suatu aturan dan sistem organisasi.(sumber:http://fransiscanissblog.blogspot.com/2011/12/ferdinand-tonnies.html. diakses pada Selasa 6 November 2012 pukul 21.15 WIB.)

Selasa, 11 Desember 2012

TOKOH SOSIOLOGI (2)


GEORG SIMMEL
Simmel lahir di Berlin, 1 Maret 1858. Ia mempelajari berbagai cabang ilmu di Universitas Berlin. Tetapi, upaya
Georg Simmel
pertamanya untuk menyusun disertasi ditolak dan salah seorang profesornya pernah mengatakan “Kami akan banyak membantunya bila tak mendorongnya ke arah ini” (Firsby, 1984 : 23). Meski proposal pertamanya ditolak, ia mempertahankan disertasi dan menerima gelar doktor filsafat tahun 1881. Hingga 1914 ia tetap di Universitas Berlin berstatus tenaga pengajar meskipun hanya menduduki jabatan yang relatif penting sebagai “dosen privat” dari 1885-1900. Dia kemudian menjadi dosen yang tak digaji, yang kehidupannya tergantung pada honor dari mahasiswa. Meski honornya kecil, dalam jabatan ini kehidupan ekonominya agak baik karena ia seorang dosen yang cerdas dan menarik banyak mahasiswa yang membayarnya (Frisby, 1981:17; Salomon, 1963/1997). Gaya mengajarnya demikian populer, hingga bahkan anggota terpelajar masyarakat Berlin pun menghadiri kuliahnya.
Keterpinggiran Simmel paralel dengan fakta bahwa Simmel agak kontradiktif dan merupakan pribadi yang membingungkan :
Jika kita kumpulkan keterangan yang ditinggalkan oleh teman mahasiswanya di masa itu, kita akan menemukan sejumlah indikasi mengenai Simmel yang kadang-kadang saling bertentangan. Ada yang melukiskannya sebagai orang yang tinggi dan ramping, orang lain melukiskannya sebagai orang yang pendek dan berpenampilan sedih. Dilaporkan penampilannya tak menarik, khas Yahudi, tetapi juga sangat cerdas dan ningrat. Dilaporkan pula ia pekerja keras, juga lucu, dan sangat pandai berbicara. Terdengar pula ia sangat pintar (Lukacs, 1991:145), ramah, rapi, tetapi iapun irrasional, kusam dan sembrono (Schnabel dikutip dalam Poggi, 1993 : 55).
Simmel menulis banyak artikel (“The Metropolis and Mental Life”) dan bukuThe Philosophy of Money. Ia terkenal di kalangan akademisi Jerman, mempunyai pengikat internasional, terutama di Amerika. Di situ karyanya berpengaruh besar dalam kelahiran sosiologi. Tahun 1900 ia menerima penghargaan resmi gelar kehormatan murni dari Universitas Berlin yang tak memberinya status akademisi penuh. Simmel mencoba mendapatkan berbagai status akademisi, namun ia gagal meski mendapat dukungan sarjana seperti Max Weber. Salah satu alasan yang menyebabkan Simmel gagal adalah karena ia keturunan Yahudi, sementara di abad 19 Jerman sedang dilanda paham anti-Yahudi (Kasler, 1985). Begitulah, dalam sebuah laporan tentang Simmel yang ditulis untuk menteri pendidikan, Simmel dilukiskan sebagai seorang “Israel tulen dalam penampilan luarnya, dalam sikapnya dan dalam cara berpikirnya” (Frisby, 1981:25). Alasan lain adalah jenis karya yang dihasilkan. Banyak artikelnya dimuat di koran dan majalah; yang ditulis untuk konsumen lebih umum ketimbang untuk sosiolog semata (Rammstedt, 1991). Lagi pula karena ia tak memegang jabatan akademis reguler ia terpaksa mencari nafkah melalui ceramah umum. Peminat tulisannya maupun ceramahnya lebih banyak intelektual publik ketimbang sosiolog profesional dan ini menimbulkan penilaian yang melecehkan dari rekan seprofesinya misalnya salah seorang rekan sesamanya mengutuknya karena  pengaruhnya terhadap suasana umum dan terutama terhadap “jurnalisme” (Troeltsch, dikutip dalam Frisby, 1981:13) kegagalan personal Simmel pun dapat dikaitkan dengan rendahnya penghargaan akademisi Jerman terhadap sosiologi ketika itu. Tahun 1914 Simmel akhirnya diangkat sebagai dosen tetap di Universitas kecil (Strasbourg), tetapi sekali lagi ia merasa sebagai orang asing. Di satu sisi ia menyesal meninggalkan peminat ceramahnya di Berlin. Istrinya menyurati Max Weber : Georg meninggalkan peminatnya dalam sedih…. Mahasiswa di Berlin itu sangat simpati dan setia…. Inilah keberangkatan ke puncak kehidupan” (Krisby, 1981:29). Di sisi lain Simmel tak merasa menjadi bagian kehidupan dari Universitas barunya itu. Ia menyurati istri Weber “Hampir tak ada yang dapat kami laporkan, kami hidup … menyendiri, tertutup, acuh tak acuh, terpencil dari kehidupan luar. Kegiatan akademis = 0, orangnya… asing dan bermusuhan secara diam-diam.” (Krisby, 1981:32). Perang Dunia I pecah segera setelah Simmel diangkat menjadi dosen di Strasbourg. Uang kuliah menjadi rumah sakit militer dan mahasiswa ikut berperang. Demikianlah Simmel tetap menjadi tokoh marginal di dunia akademis Jerman hingga kematiannya tahun 1918. ia tak pernah mendapat karir akademis yang normal. Bagaimanapun juga Simmel menarik perhatian sejumlah besar mahasiswa di zamannya dan kemasyhurannya sebagai seorang sarjana terpelihara bertahun-tahun.

Kamis, 06 Desember 2012

PROFIL TOKOH TEORI SOSIOLOGI KLASIK


FERDINAND TONNIES


Ferdinand Tonnies lahir di Schleswig-Holstein, Jerman Timur tahun 1855. Ia belajar di universitas Tubingen di Husum, tertarik menjadi novelis dan penyair. Tahun 1877 dia menerima gelar doktor dalam sastra klasik di universitass Tubingen. Tonnies kemudian beralih ke filsafat, sejarah, biologi, psikologi, ekonomi, dan mulai mempelajari sosiologi. Pada tahun 1881 dia memulai karirnya  sebagai dosen swasta di Universitas Kiel mengajar filsafat, ekonomi, statistic. Hasil penelitiannya ia publikasikan di media massa. Pada tahun 1887 ia menerbitkan buku yang terkenal mengenai Gemeinschaft dan Gesellschaft (komunitas dan masyarakat).

Dia menjadi tersangka radikalisme di sebuah bentrokan dengan administrasi Universitas Kiel tahun 1896 karena membuat massa mogok kerja. Pihak universitas menjanjikan karir yang cemerlang untuk sarjana muda. Tahun 1909 konflik eksternal telah diselesaikan dengan janji bahwa Tonnies akan mendapatkan gelar profesor penuh bidang politik ekonomi di Universitas Kiel yang dimaksudkan untuk membantu keuangan Tonnies sebagai ayah dari kelima anaknya. Pada kenyataannya Tonnies tidak disebut profesor penuh sampai tahun 1913. Ia hanya menjadi profesor tamu yang seringkali diundang di Universitas Kiel.

Tonnies turut membangun institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman bersama Max Weber, George Simmel, Werner Sombart, melatarbelakangi berdirinya German Sosiologycal Assocoation pada tahun 1909. Tonnies berhasil menjadi Guru besar Emiritus di Universitas Kiel, tetapi pada tahun 1933 dia dicabut dari status Guru Besar Emiritus. Ia wafat pada 9 april 1936 karena kediktoran NAZI, semasa hidupnya ia aktif menentang gerakan NAZI di Jerman dan telah menghasilkan 900 karya serta banyak menyumbang dibidang Sosiologi dan Filossofi. Banyak teori sosiologi, termasuk gemeinschaft dan gesellschaft yang selanjutnya diedit dan dialihbahasakan ke dalam bahasa lain.

Rabu, 28 November 2012

WACANA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA


Wacana pendidikan multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat indonesia yang heterogen, plural. Pendidikan multikultural yang di kembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (otoda).

Menurut Azyumardi Azra pada level nasional,berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memakssakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan raksi balik, yang mengandung implikasi negatif bagi rekontruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.

Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran, tetapi juga melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative Action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktur terhadap kelompok minoritas.

Pendidikan multikultural dapat mencakup tiga jenis transformasi:
a)      Transformasi diri.
b)      Transformasi sekolah dan proses belajar mengajar.
c)      Transformasi masyarakat.

Wacana pendidikan multikultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti bola salju (snow ball) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana pendidikan multikultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multikultural ini.

Sumber: Mahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

PENDEKATAN DAN TANTANGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA


Men-design pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok, budaya, suku dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengandung tatanan yang tidak ringan. Perlu disadari bahwa pendidikan multikultural tidak hanya sebatas merayakan keragaman. Dalam kondisi demikian, pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk itu diperlukan sejumlah pendekatan. 

Beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
a)      Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan, atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal.
b)      Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik.
c)      Karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah etnik  merupakan anitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru.
d)     Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
e)      Kemungkinan bahwa pendidikan meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan nonpribumi.

Tantangan :
a)      Agama, suku bangsa dan tradisi
Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.

Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.

b)      Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat/plural.

c)      Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.

Sumber: Mahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

PARADIGMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA


Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan dan budayanya. Sementara, dalam perspektif vertikal, kemajemukaan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial budaya.

Kemajemukan adalah ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Pada satu sisi, kemajemukan masyarakat memberikan side effect (dampak) secara positif. Namun, pada sisi lain, ia juga menimbulkan dampak negatif, karena faktor kemajemukan itulah terkadang sering menimbulkan konflik antarkelompok masyarakat. Pada akhirnya, konflik-konflik antar kelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial.

Oleh karena itu, diperlukan suatu paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama.

Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
a)      Tujuannya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya.
b)      Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
c)      Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis.
d)     Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Menurut M. Khoirul Muqtafa (2004), paradigma multikultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat multikultur seperti di Indonesia tampaknya menjadi wacana belaka. Gagasan ini belum mampu dilaksanakan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah dalam tindakan praksis.

Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar masyarakat melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan menuntut agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.


sumber: Mahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

DIMENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


Dimensi pendidikan multikultural menurut James Bank, yaitu:

a)      Dimensi pertama (Contents Integration), yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu.

b)      Dimensi kedua (The Knowledge Construction Process), yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).

c)      Dimensi ketiga (An Equity Paedagogy), yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial (social).

d)     Dimensi keempat (Prejudice Reduction), yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa yang menentukan metod pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.

sumber: Mahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

PENGERTIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Ada sekitar 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Lebih khusus lagi, apabila dilihat dari cara pandang, tindakan dan wawasan setiap individu yang ada terhadap berbagai macam fenomena sosial, budaya, ekonomi, politik dan terhadap hal-hal lainnya, tak dapat dipungkiri mereka mempunyai pandangan yang beragam. Keragaman ini diakui atau tidak dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

Pendidikan multikultural menawarkan salah satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat. Di dalam pendidikan multikultural terletak tanggung jawab besar untuk pendidikan nasional. Tanpa pendidikan yang difokuskan pada pengembangan perspektif multikultural dalam kehidupan adalah tidak mungkin untuk menciptakan keberadaan aneka ragam budaya di masa depan dalam masyarakat Indonesia. Multikultural hanya dapat disikapi melalui pendidikan nasional.

James Banks (1993: 3) pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugrah tuhan atau sunatullah). Hilda Hernandez dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, pendidikan Multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.

 Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
a)      Tujuannya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya.
b)      Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
c)      Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis.
d)     Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

SumberMahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Selasa, 27 November 2012

MASYARAKAT MULTIKULTURAL


Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas beragam kelompok sosial dengan sistem norma dan kebudayaan yang berbeda. Masyarakat multikultural merupakan bentuk dari masyarakat modern yang anggotanya terdiri dari berbagai golongan, suku, etnis, ras, agama, dan budaya. Dalam masyarakat multikultural, perbedaan kelompok sosial, kebudayaan dan suku bangsa dijunjung tinggi. Namun tidak berarti adanya kesenjangan dan perbedaan hak dan kewajiban diantara mereka. Masyarakat multikultural memperjuangkan kesederajatan antara kelompok minoritas dan mayoritas, baik secara hukum maupun secara sosial. Masyarakat multikultur sekaligus juga adalah masyarakat yang menolak semua bentuk rasisme dan diskriminasi di dalam segala bentuknya.

Karakteristik multikultur :
1.      Adanya konduksi dalam hubungan interpersonal
2.      Ciri khas dan karakteristik budaya,adat, bahasa dan kebiasaan setiap daerah diberi kesempatan untuk berkembang dan menjadi aset yang dimiliki oleh bangsa
3.      Adanya kebebasan untuk mengembangkan diri dengan tetap saling menghargai
4.      Pluralitas dilihat sebagai perbedaan yang harus dihargai dan dihormati
Multikulturalisme menuntut masyarakat untuk hidup penuh toleransi, saling pengertian antarbudaya dan antarbangsa dalam membina suatu dunia baru. Masyarakat multikultural akan mendorong lahirnya nasionalisme multicultural, yaitu nasionalisme yang dibangun berdasarkan perbedaan budaya masing-masing kelompok pembentuknya.

Merujuk pada pengertian mengenai konsep multikultural tersebut, di dalam masyarakat multikultural perbedaan yang ada tidak hanya sekedar untuk diakui saja (seperti pada masyarakat majemuk), tetapi juga pada taraf yang lebih jauh lagi, yaitu diperlakukan secara setara. Masyarakat multikultural dapat menampung seluruh perbedaan yang ada secara setara sehingga dapat menjadi daya ikat bagi seluruh keberagaman etnis, budaya, agama, dan lain-lain untuk mewujudkan integrasi sosial dalam masyarakat tersebut. Kesetaraan/kesedarajatan diantara perbedaan yang ada menjadi ciri pokok dalam masyarakat multikultur. Di dalam konsep masyarakat multikultur, masyarakatnya dituntut untuk mampu hidup secara berdampingan dan saling berlaku adil dalam segala bidang kehidupan (hukum, politik, sosial, pendidikan, dll.) meskipun berbeda suku, ras, agama, dan golongan. Kesadaran mengenai multikultural ini  mendorong setiap orang untuk bertoleransi, menghargai, dan menjunjung tinggi perbedaan yang ada. Dengan sikap yang demikian itu akan memperkecil benih-benih konflik di masyarakat.

Macam-macam Multikulturalisme
Bikhu Parekh membedakan 5 macam multikulturalisme sebagai berikut  : 
1. Multikulturalisme isolasionis yang mengacu pada kehidupan masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok kultural secara otonom. Keragaman diterima, namun masing-masing kelompok berusaha mempertahankan identitas dan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat umum lainnya. 

2. Multikulturalisme akomodatif yaitu sebuah masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, namun yang dominan juga memberikan ruang bagi kebutuhan kultur yang minoritas. Antara yang dominan dan minoritas saling hidup berdampingan, tidak saling menentang dan tidak saling menyerang. Jembatan akomodasi tersebut biasanya dengan merumuskan dan menerapkan hukum, undang-undang atau peraturan lainnya.

3. Multikulturalisme otonomis, dalam masyarakat ini, setiap kelompok masyarakat kultur berusaha mewujudkan equality (kesetaraan) dengan budaya yang dominan serta berusaha mencapai kehidupan otonom dalam kerangka politik yang dapat diterima secara kolektif. Tujuan akhir dari kelompok ini adalah setiap kelompok dapat tumbuh eksis sebagai mitra sejajar.

4. Multikulturalisme kritikal dan interaktif. Dalam masyarakat ini mengutamakan upaya tercapainya kultur kolektif yang dapat menegaskan dan mencerminkan perspektif distingtif mereka. Dalam pelaksanaannya, biasanya terjadi pertentangan antara kelompok dominan dengan kelompok minoritas.

5. Multikulturalisme kosmopolitan. Dalam masyarakat ini akan berusaha menghilangkan sama sekali batas-batas kultur sehingga setiap anggota secara individu maupun kelompok tidak lagi terikat oleh budaya tertentu. Kebebasan menjadi jargon utama dalam keterlibatan dan eksperimen pengetahuan interkultural serta mengembangkan kehidupan kulturalnya masing-masing secara bebas.

Dalam konsep multikulturalisme isolasionis, masyarakatnya meski sudah mengakui perbedaan yang ada namun tingkat kesadaran akan multikulturalisme itu sendiri masih rendah. Di dalam masyarakat ini masih melekat sikap primordial (yang cukup kuat), masyarakat masih cenderung mempertahankan identitas dan budaya mereka masing-masing. Mereka belum benar-benar mampu menganggap perbedaan yang ada sebagai suatu bagian kesatuan nasional, atau dengan kata lain, identifikasi yang diberikan masih pada batasan terhadap kelompoknya sendiri dan belum sampai pada taraf masyarakat yang lebih luas, yaitu negara. Dengan kenyataan yang seperti itu akan mempersulit untuk terwujudnya akulturasi, terlebih lagi terwujudnya asimilasi.

Di dalam masyarakat multikulturalisme akomodatif, tingkat kesadaran terhadap multikulturalisme sudah lebih tinggi dibanding pada masyarakat multikulturalisme isolasionis. Terdapat kultur mayoritas dominan dalam masyarakat ini. Namun melalui perumusan kebijakan/aturan dapat menjembatani antara yang dominan dengan yang minoritas.

Satu tingkat kesadaran lebih tinggi terhadap multikulturalisme yaitu pada masyarakat multikulturalisme otonomis. Kultur dominan masih tetap ada dalam masyarakat seperti ini. Tetapi, kesetaraan ingin benar-benar diwujudkan antara minoritas dengan kultur mayoritas. Sehingga harapannya semua kelompok pada akhirnya dapat hidup berdampingan secara sejajar.

Sedangkan pada masyarakat kritikal dan interaktif  juga memiliki tingkatan lebih tinggi mengenai kesadaran terhadap multikulturalisme.  Dengan kesadaran terhadap multikulturalisme yang tinggi tersebut, masayarakat ingin mewujudkan adanya kultur kolektif. Namun setiap kelompok menginginkan kulturnya, secara nyata dan setara, dimasukkan sehingga merupakan bagian dari kultur kolektif tersebut. Karena sulitnya mewujudkan hal tersebut, dalam prosesnya biasanya sangat mungkin terjadi pertentangan antara yang dominan dan yang minoritas.

Tingkat kesadaran paling tinggi terhadap  multikulturalisme ada pada masyarakat multikulturalisme kosmopolitan. Meskipun setiap masyarakat bebas mengembangkan kulturnya masing-masing namun identifikasi diri sudah tidak terikat pada suatu kelompok atau budaya tertentu. Identifikasi diri sudah pada taraf masyarakat yang lebih luas, yaitu negara. Batas-batas kultur pun ingin dihilangkan dalam masyarakat ini.


DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyaani. 1987. Sosiologi : Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta : PT Bumi Aksara

         Abdul Munir M dkk. 2008. Diskriminasi di Sekeliling Kita : Negara, Politik Diskriminasi,  dan Multikulturalisme. Yogyakarta : Interfidei
Syahrial SR. Dasar-dasar Sosiologi.
           Aris Saefulloh. 2009. Membaca Paradigma Pendidikan dalam Bingkai Multikulturalisme (Jurnal).     Purwokerto : Insania